Label

Kamis, 31 Maret 2016

Tersesat Bersamamu

Selepas ini, aku memasuki musim baru semesta kecil dalam diriku. Musim Pelangi jika boleh kusebut.
Pada musim ini biasanya aku sukar membedakan bias anatara kebahagiaan dan tipu daya cahaya yang sering kusebut-sebut berada dalam labirin jiwaku yang begitu rumit.
Pada musim ini, aku sempat tersesat beberapa kali, sampai menemukan sebuah jalan yang warna-warni.
Mungkin, ini bukan jalan yang benar dan mungkin aku masih tersesat.
Tapi tak apa, aku menemukan sesuatu di jalan ini.
Aku menemukanmu.
Mungkin kau memang datang mencariku atau hanya kebetulan ada di jalan yang sama ini.
Atau barangkali kamu datang hanya untuk memperbaiki atap-atap hatiku yang bocor lantaran luka lama yang dilempari oleh kenangan-kenangan busuk.
Apapun itu, aku senang menemukanmu berada di jalan yang sama.
Perkara kau tau arah jalan atau tidak pun tak masalah bagiku.
Setidaknya kita bisa memulai perjalanan dengan tersesat bersama, bukan?
Walaupun nantinya kau akan pergi meninggalkan aku di jalan, setidaknya kita pernah mencoba melakukan perjalanan menuju tujuan.
Percayalah, telah banyak aral ku lumat habis untuk menemukan jalan ini.
Telah banyak lika-liku dinding tipuan dan tikungan-tikungan menyebalkan hanya untuk sampai pada jalan ini dan akirnya bertemu kamu. 
Dan kau harus tau begitu banyak hal yang terlewatkan hanya untuk dapat tersesat disni. 
Jadi,
Mari Tersesat Bersamaku.

-nhnuy-

Kamis, 10 Maret 2016

Cara orang-orang memperlakukan kenangan.

Aku pernah melihat orang merapikan kenangan-kenangan yang berserak, dimasukan kedalam kotak penyesalan dan dihanyutkan pada sungai-sungai waktu yang entah muaranya dimana.

Aku juga pernah melihat orang membiarkan kenangan berserakan di ruang-ruang kalbu. Jika kau tanya mengapa tak dirapikan, kau hanya akan mendapatkan jawaban klise bahwa sudah terlampau kacau dan menyentuh kenangan menjadi sangat malas. Apalagi merapikan nya.

Ada juga, orang yang meramu kenangannya. Membakar tanda-tanda hitam dan menelan bekas bekas kebahagiaannya saja. Agar yang membekas hanya yang putih. Ku rasa, itu tidak adil. Entahlah.

Tapi kali ini aku memperhatikan caramu memperlakukan kenangan. Ku lihat kau merapikan kenangan dengan hati-hati dan kau urutkan berdasarkan rasa-rasa mu. Kau letakan kenangan yang kau rapihkan di atas meja kerjamu. Terkadang kau buka lagi kenangan itu, kau baca dan kau pelajari betul tiap-tiap tanda hitam yang menodai kenangan mu. Aku bingung setengah mati. Mengapa kau sehati-hati itu. Bukankah semua hal yang terlewati harusnya sudah selesai?
Apa membaca kenangan tidak melukai masa depan?

Aku mulai meniru caramu memperlakukan kenangan, tapi aku tak benar-benar mampu. Begitu banyak yang kau ciptakan. Ruang kalbuku penuh dan sempit.
Aku tidak tau cara memperlakukan kenangan.
Kau tak pernah selesai mengajariku caranya.
Dan aku harus bagaimana?
Aku tak percaya cara orang-orang.
Lalu harus apa aku?

- nhnuy -

Jumat, 04 Maret 2016

Tentang si pecandu rindu dan bedebah

Dan akhirnya kita sampai pada ujung cerita kisah si pecandu rindu yang menunggu kekasihnya datang membawa peti emas janji dan sebongkah harapan untuk hidup bersama.
Di akhir cerita, si pecandu rindu menyadari bahwa dia tak pernah dihargai, dan satu-satunya yang dihargai kekasihnya hanyalah ego.
Si penikmat ego menjelma menjadi bedebah yang memuakan, membawa segenggam kebencian nan pekat untuk pecandu rindu.
Hati adalah tempat terbaik menyimpan cinta pun benci, untungnya si pecandu rindu paham sekali bahwa si bedebah penikmat ego itu harus sudah berhenti ditunggu, dan bukan lagi harus menjadi yang terkasih. Sebab ketulusan terlalu indah untuk dilemparkan pada sumur-sumur kemunafikan orang-orang yang tak mengerti tentang kesetiaan.
Tuhan Maha Baik, tidak pernah Dia tidak memberi penawar atas luka-luka hambanya.
Si pecandu rindu kini mulai menata kepingan-kepingan jiwa yang berserak di semesta kecil dirinya. Mencari arti lain dari menunggu. Kelak suatu hari si penikmat ego yang bedebah itu mengerti. Karena barangkali, Tuhan akan memberi kesempatan padanya mencicipi luka orang lain yang tersakiti.
Kini si pecandu rindu tak lagi dipecundangi waktu, tak lagi menunggu si bedebah. Ketika terjaga kala malam, tak lagi dihantui kenangan. Semua sudah berubah. Seperti biasa saja.
Memang, semesta tak pernah beri kesempatan orang baik terlarut dalam permainan orang-orang munafik. Segera saja tanda-tanda semesta untuk mengisyaratkan bahwa berhenti adalah pilihan, selalu terjadi.
Si pecandu rindu harus membenci si bedebah dengan sopan dan hati-hati, sebab kebencian akan membawanya pada lorong-lorong gelap kenelangsaan. Dan mati di dalamnya adalah petaka.

Si pecandu rindu kini menjelma menjadi si peramu rasa. Mencari hati lain yang lebih bersih, Mengubur bencinya pada si bedebah kemudian  Menggantung asanya pada bulan dan bintang-bintang. Kelak kan kau temukan ia di langit.

- nhnuy -

Selasa, 01 Maret 2016

Lelah diri

Aku tak bisa lagi membaca pola-pola hidupku yang disulam dengan benang-benang takdir warna-warni. Aku tak benar-benar yakin lagi dengan jiwa dan rasa ku. Ada lelah yang tak terejawantah. Ada lebam yang membiru pada lapisan paling bawah hatiku.

Rupanya aku sudah sangat kelelahan mengejar sesuatu yang entah. Aku jadi semakin bodoh membaca ruang dan waktu. Terjebak dalam pikiran aneh yang biasa dinamai khayalan. Aku tak paham lagi dengan hidupku.

Aku merasa terus-terusan dikhianati diri sendiri. Ingin hilang dan menjadi bukan aku tapi mustahil.
Aku meraba ruang-ruang kalbu yang acak-acakan ini, mencoba menemukan tanda yang hilang.
Tanda syukur yang biasanya lekat mengisi ruang kalbu, kini entah dimana.
Aku berada pada batas-batas bias antara membenci diri atau memaafkan diri.

Aku tak paham lagi dengan diriku sendiri. Rasanya seperti di lukai habis-habisan oleh diri sendiri. Yang paling ku kenal di dunia ini adalah diri sendiri dan yang paling ku takuti selepas takut Tuhan adalah takut pada diriku sendiri. Sungguh aku tak paham lagi.

Lekas sembuh!