Dan akhirnya kita sampai pada ujung cerita kisah si pecandu rindu yang menunggu kekasihnya datang membawa peti emas janji dan sebongkah harapan untuk hidup bersama.
Di akhir cerita, si pecandu rindu menyadari bahwa dia tak pernah dihargai, dan satu-satunya yang dihargai kekasihnya hanyalah ego.
Si penikmat ego menjelma menjadi bedebah yang memuakan, membawa segenggam kebencian nan pekat untuk pecandu rindu.
Hati adalah tempat terbaik menyimpan cinta pun benci, untungnya si pecandu rindu paham sekali bahwa si bedebah penikmat ego itu harus sudah berhenti ditunggu, dan bukan lagi harus menjadi yang terkasih. Sebab ketulusan terlalu indah untuk dilemparkan pada sumur-sumur kemunafikan orang-orang yang tak mengerti tentang kesetiaan.
Tuhan Maha Baik, tidak pernah Dia tidak memberi penawar atas luka-luka hambanya.
Si pecandu rindu kini mulai menata kepingan-kepingan jiwa yang berserak di semesta kecil dirinya. Mencari arti lain dari menunggu. Kelak suatu hari si penikmat ego yang bedebah itu mengerti. Karena barangkali, Tuhan akan memberi kesempatan padanya mencicipi luka orang lain yang tersakiti.
Kini si pecandu rindu tak lagi dipecundangi waktu, tak lagi menunggu si bedebah. Ketika terjaga kala malam, tak lagi dihantui kenangan. Semua sudah berubah. Seperti biasa saja.
Memang, semesta tak pernah beri kesempatan orang baik terlarut dalam permainan orang-orang munafik. Segera saja tanda-tanda semesta untuk mengisyaratkan bahwa berhenti adalah pilihan, selalu terjadi.
Si pecandu rindu harus membenci si bedebah dengan sopan dan hati-hati, sebab kebencian akan membawanya pada lorong-lorong gelap kenelangsaan. Dan mati di dalamnya adalah petaka.
Si pecandu rindu kini menjelma menjadi si peramu rasa. Mencari hati lain yang lebih bersih, Mengubur bencinya pada si bedebah kemudian Menggantung asanya pada bulan dan bintang-bintang. Kelak kan kau temukan ia di langit.
- nhnuy -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar